Ada siapa di balik etnografi sukses? Cerita tentang I Made Kaler - Wawancara dengan Amrina Rosyada, Bagian 1

00:00:10 Tito Ambyo
Halo dan selamat datang di podcast Jaringan Etnografi Terbuka, sebuah ruang diskusi dan belajar
tentang etnografi dan penjelajahan etnografi sebagai pendekatan yang terbuka dan kolaboratif.
Saya Tito Ambil dari RMIT University di Narm, Melbourne, Australia dan bersama kita akan menjelajahi
berbagai aspek etnografi. Kalau kamu pernah belajar antropologi, tentu pernah dengar nama
Margaret Mead. Beliau adalah salah satu antropolog yang paling berpengaruh dalam sejarah
ilmu pengetahuan. Karya -karyanya tentang Bali telah membentuk pemahaman dunia tentang
budaya Indonesia, misalnya. Namun, seperti yang akan kita dengar hari ini, kebesaran Mead
atau antropolog ternama lainnya seperti Clifford Geertz adalah gejala cara pandang yang
individualistik terhadap ilmu pengetahuan, di mana orang -orang seperti Margaret Mead datang
ke sebuah komunitas, kemudian mempelajari dalam tanda kutip komunitas tersebut, kemudian
pulang ke kampus dan menulis berbagai buku dari pengetahuan itu dan kemudian beliau

00:01:15 Tito Ambyo
lah yang dinamakan sebagai Sang Antropolog. Tapi pernah nggak kamu bertanya -tanya, siapa
sebenarnya yang memberikan semua informasi yang begitu mendetail tentang ritual, tentang
tradisi, kehidupan sehari -hari yang ditulis kemudian dengan begitu bagus dan indah oleh
para antropolog terkenal ini? Siapa misalnya yang membantu Margaret Mead memahami bahasa
lokal, membuka pintu ke rumah -rumah penduduk, tapi juga membuka pintu hati ke komunitas,
tapi juga menjelaskan makna di balik setiap kata, di setiap praktik budaya? Dan tantangan
seperti apa yang mereka hadapi? Episode ketiga ini menghadirkan Amrina Roshada, Ironman
Scholar dan mahasiswa PhD Antropologi di Northwestern University, yang melalui penelitiannya,
yang telah mendapat tiga penghargaan bergensi, telah mengungkap kisah luar biasa tentang
Ihmade Kaller, sosok yang selama puluhan tahun tersembunyi di balik kemasyuran Margaret
Mead. Penelitian Amrina, who made Mead, the native research assistant as intellectual, telah
meraih Eric

00:02:26 Tito Ambyo
R. Wolff Prize, Percy Buchanan Prize in Southeast Asia, dan Patana Kityarsa Prize. Dalam penelitian
itu, Amrina menjelajahi peran Ihmade Kaller, dan juga secara umum peran dan kontribusi peneliti
lokal dalam sejarah antropologi. Dalam episode ini dan juga episode minggu depan, kita akan
dengarkan kisah Ihmade Kaller dan apa yang bisa kita pelajari darinya. Mari kita dengar dan
renungkan bersama apa artinya bagi etnografi yang terbuka. Selamat mendengarkan.

00:03:04 Tito Ambyo
Oke, terima kasih banyak Amrina Roshada telah bergabung dengan kami. Amrina, boleh ini dulu
nggak? Apa memperkenalkan diri dulu.

00:03:14 Amrina Rosyada
Boleh, boleh. Halo semuanya. Halo pendengar. Namaku Amrina Roshada. Bisa dipanggil Ina atau
Amrina, tapi biasanya Amrina sih ya. Aku lahir dan besar di Yogyakarta. Dulu S1 -nya antropologi
di Universitas Gajah Mada. Terus sekarang sedang menempuh pendidikan S3 di antropologi juga.
Jadi linear di Northwestern University di Evanston, Amerika Serikat.

00:03:41 Tito Ambyo
Ya, jadi memang dari dulu udah tertarik antropologi dan etnografi ya?

00:03:47 Amrina Rosyada
Iya, banget, banget, banget.

00:03:49 Tito Ambyo
Kenapa tuh?

00:03:50 Amrina Rosyada
Salah satu alasan kenapa aku tertarik sama etnografi dan antropologi lebih luasnya itu adalah
apa ya, itu membuatku sadar kalau yang namanya truth atau norma atau apa yang baik, apa yang
benar itu nggak tunggal gitu. Jadi kayak aku bisa melihat apa itu kebenaran, apa itu yang baik,
apa yang buruk dari perspektif orang lain gitu tanpa mungkin judging atau apa gitu.

00:04:21 Tito Ambyo
Dan apa ya, kalau ngomong -ngomong soal baik dan buruk itu kan ya gue juga dulu S1 -nya antropologi
nih ya. Dan yang dianggap sebagai antropolog -antropolog yang baik itu kan ya seperti Margaret
Mead, Clifford Goetz gitu kan. Dan dulu lo ingat nggak waktu S1 tuh pemikirannya seperti apa
ketika baca karya -karya para superstar antropologi ini?

00:04:47 Amrina Rosyada
Aku mikir ya waktu itu ya, apa ya, kayak aku dulu mikirnya kayak kenapa semuanya orang kulit
putih gitu sih. Kenapa kayak nggak ada antropolog dari India atau dari Meksiko gitu. Ada sih
dulu Kunca Raningrat gitu misal orang Indonesia. Tapi cuma satu aja, yang lain kan paling dari
Eropa Barat, dari Amerika Utara gitu -gitu kan.

00:05:12 Tito Ambyo
Ya terutama mungkin kalau Margaret Mead, Clifford Goetz itu kan mereka menjelaskan budaya
kita gitu ya. Menjelaskan budaya Indonesia gitu.

00:05:20 Amrina Rosyada
Betul, benar -benar. Mereka bukan dari budaya tersebut tapi mereka datang ke sebuah tempat
untuk meneliti orang yang quote -unquote asing buat mereka gitu kan. Itu sih mungkin.

00:05:33 Tito Ambyo
Ya terus gimana nih ceritanya sampai kemudian nemu figur -figur kayak Imad Khaler, terus George
Hunt dan kawan -kawan. Ya gimana tuh ceritanya bisa sampai tertarik untuk meneliti tentang
orang -orang di balik antropolog -antropolog ternama ini?

00:05:50 Amrina Rosyada
Sebetulnya alasan utamanya itu sangat pragmatis ya dulu. Jadi waktu itu aku masih tahun pertama
PhD di sini, di antropologi Northwestern. Dan di programku itu tahun kedua PhD itu harus mengumpulkan
sebuah semacam esai 25 ribu kata gitu ya. Jadi kayak esai lumayan panjang. Tentang proyek riset
kita apapun itu gitu. Dan waktu itu aku belum punya proyek apapun, mana waktu itu Covid juga
kan tahun 2020. Jadi pilihanku sangat terbatas, aku gak bisa pulang ke Indonesia untuk melakukan
fieldwork atau riset lapangan. Belum punya topik pula, aduh semakin bingung nih. Terus akhirnya
aku memutuskan nih setelah mengobrol dengan advisorku atau pembimbingku. Aku memutuskan
untuk melakukan riset antropologis tapi gak melakukan etnografi atau riset lapangan. Tapi
melakukan riset arsip yang mungkin sekarang lekatnya sama sejarah ya, sama ilmu sejarah gitu.
Jadi aku akhirnya melakukan itu karena arsip -arsip dan library atau perpustakaan masih buka
kan waktu Covid. Ya sudah akhirnya aku melakukan itu. Dan

00:07:12 Amrina Rosyada
kenapa aku akhirnya bisa sampai ke topik itu? Itu adalah awalnya karena aku baca -baca tentang
George Hunt. Aku malah kayak terpapar sama George Hunt duluan daripada Ima Dekaler. Jadi untuk
pendengar yang mungkin kurang familiar dengan George Hunt ini. George Hunt ini adalah seorang
asisten riset atau kolaborator dari antropolog Amerika yang terkenal banget namanya Franz
Boas. Franz Boas ini kalau di antropologi Amerika itu dianggapnya sebagai bapak antropologi
gitu. Nah terus aku terpapar sama karya tentang tulisan -tulisan tentang George Hunt ini.
Karena sebetulnya George Hunt ini lumayan terkenal karena dia banyak meninggalkan dokumen
-dokumen dan tulisan -tulisan. Sehingga mudah untuk para peneliti untuk melakukan riset
tentang dia kan. Karena dia meninggalkan dokumen -dokumen tersebut. Terus akhirnya aku jadi
mikir ada gak ya antropolog gede yang datang ke Indonesia yang memakai jasa kolaborator -kolaborator
seperti ini gitu. Aku hanya listing nih, siapa aja yang pernah ke Indonesia.

00:08:25 Amrina Rosyada
Clifford Geertz tentu pernah. Terus ada Margaret Mead gitu. Dan ketika aku searching tentang
Clifford Geertz itu gak terlalu banyak hasil yang aku temukan gitu. Aku yakin sih dia pasti
pakai kolaborator juga, pakai jasa kolaborator. Tapi waktu itu aku kurang bisa menemukan
nama -nama yang langsung wah ini nih gitu. Beda sama Margaret Mead ketika aku googling. Ternyata
dia memakai jasa seorang kolaborator atau dia berkolaborasi dengan Imade Kaller ini. Gak
banyak sih infonya tentang dia. Tapi setidaknya aku punya satu nama yang aku bisa jadikan jangkar
gitu ketika aku melakukan riset. Begitulah akhirnya aku sampai sekarang mungkin menelusuri
tentang Imade Kaller.

00:09:14 Tito Ambyo
Mungkin kita bisa bicara lagi tentang Imade Kaller. Jadi dulu tuh, gue jadi tertarik juga nih.
Apa Clifford Geertz dan Margaret Mead? Mungkin apakah Margaret Mead ternyata lebih terbuka
daripada Clifford Geertz? Tentang kolaborasi. Apakah mungkin banyak yang membantu Clifford
Geertz itu tidak tercatat? Karena mungkin Clifford Geertz itu ya mungkin lebih melihat antropologi
sebagai karya individu gitu. Atau apakah kecurigaan gue ini terlalu mungkin, Apakah aku berpikir
terlalu banyak tentang itu?

00:09:57 Amrina Rosyada
Itu pertanyaan yang bagus. Kalau menurutku malah sebenarnya mungkin dari perpindahan praktik
etnografi dari tahunnya Margaret Mead kan tahun 30 -an ya. Yang mana memakai praktik key informants
atau informan kunci. Alias satu orang yang menjadi sumber informasi. Semua informasi itu
masih sangat praktik yang sangat banyak dilakukan sama etnografer pada waktu itu. Termasuk
Frans Boas tadi dengan George Hunt kan. Sementara di tahunnya Clifford Geertz, praktik itu
sudah tidak banyak dilakukan. Alias Clifford Geertz mungkin melihat kolaborator -kolaborator
mereka sebagai informan. Sebagai informan seperti bagaimana Margaret Mead melihat Iman
Dekaler. Itu mungkin menurutku kenapa Margaret Mead sangat menekankan tentang Iman Dekaler
ini. Karena dia melihat Iman Dekaler sebagai key informan atau informan kunci. Sementara
tokoh seperti ini di tahunnya Geertz sudah tidak terlalu prominent.

00:11:17 Tito Ambyo
Dan mungkin karena Geertz itu dia terkenalnya thick description itu ya. Jadi dia lebih melihatnya
banyak sekali yang bisa gue tulis. Kan ada berbagai macam orang. Ini gue observasi sebagai
antropolog. Jadi mungkin fungsi dari key informants atau informan yang sekarang dibilang
juga interlocutor itu sebenarnya bisa dilihat sebagai sejarah antropologi juga ya.

00:11:45 Amrina Rosyada
Iya banget. Bisa banget.

00:11:50 Tito Ambyo
Bisa bicara tentang Iman Dekaler nggak nih? Jadi dia itu sebenarnya siapa sih dan bagaimana
dia bisa sampai terlibat sama Margaret Mead?

00:11:59 Amrina Rosyada
Jadi aku bisa ngomong berjam -jam ya tentang Iman Dekaler. Tapi singkatnya Iman Dekaler ini
adalah seorang intelektual lokal. I like to call him intelektual lokal. Tapi Margaret Mead
panggil dia sebagai sekretaris atau asisten riset gitu ya. Jadi Iman Dekaler ini bekerja untuk
antropolog. Ternama namanya Margaret Mead dari Amerika Serikat. Yang datang ke Bali tahun
1936 sampai 1939. Margaret Mead ini adalah seorang antropolog Amerika Serikat yang terkenal
karena riset dia tentang anak -anak atau tentang masa remaja gitu. Dia melakukan riset yang
sangat penting tahun 1925 di Samoa. Itu pertama kali dia naik nggak jadi terkenal gitu karena
riset itu harusnya dia di Samoa. Tentang dia membuktikan kalau masa remaja itu nggak haruslah
jadi masa yang stresful atau penuh dengan kesedihan dan kesetresan seperti diteorikan di
Barat. Nih lihat nih anak -anak di Samoa mereka senang -senang aja kok sebagai remaja gitu.
Jadi itu menjadi karya yang sangat monumental gitu. Terus akhirnya setelah itu dia

00:13:24 Amrina Rosyada
menjadi kurator di museum, di American Museum of Natural History di New York. Dan tahun 1930
ketika dia menjadi kurator itulah dia pergi ke Indonesia untuk melakukan riset lain. Jadi
waktu itu tahun 1936. Dia pengen melakukan riset tentang sizofrenia. For some reason dia melakukan
riset tentang sizofrenia gitu. Karena dia sangat tertarik tentang gimana sih pikiran manusia
itu bekerja gitu. Gimana sih anak -anak itu dibesarkan di sebuah komunitas yang sizofrenik
gitu. Dan dia menentukan Bali sebagai tempat yang sizofrenik karena dia itu, sebenarnya dia
belum pernah ke Bali nih. Tapi dia melihat video tentang trance dance gitu. Kayak tari yang
ketika orangnya itu nggak sadar gitu. Dan dia melihat itu sebagai ciri -ciri sizofrenia gitu.
Jadi dia ke Bali untuk mencoba teori gitu lah intinya begitu. Jadi datanglah dia ke Bali tanpa
pernah ke Indonesia sebelumnya. Dia juga nggak bisa bahasa Indonesia, nggak bisa bahasa Bali.

00:14:32 Tito Ambyo
Dan jadi ini benar -benar klasik, antropolog klasik ya. Nggak tahu apa -apa tentang negaranya,
tentang budayanya. Kemudian ke sana nggak bisa bahasanya. Dan juga ini penting untuk konteksnya
ya. Karena Margaret Mead meneliti anak -anak, jadi dia harus ke rumah -rumah orang, terus harus
navigasi untuk bisa dipercaya sama ibu -ibu anak -anak ini atau orang tua anak -anak ini. Jadi
memang ini penelitian yang, sebenarnya kalau sekarang nggak akan lolos tuh kayaknya kalau
untuk penelitian antropologi sekarang gitu.

00:15:05 Amrina Rosyada
Iya, penuh dengan prasangka.

00:15:08 Tito Ambyo
Dan jadi sekarang kita kembali ke Imade Kaler nih. Jadi kita tahu konteksnya, Margaret Mead
ke Bali mau meneliti tentang psikologi anak -anak di Bali. Kemudian ketemu Imade Kaler. Ceritanya
gimana nih mereka bisa sampai ketemu sama Imade Kaler? Karena bukan cuma Margaret Mead ya,
suaminya juga di situ ya, Gregory.

00:15:31 Amrina Rosyada
Betul, Gregory Bateson juga datang. Iya, jadi tahun 1936 masih zaman Belanda. Jadi di bawah
pemerintahan Belanda. Itu setelah menikah di Singapura, Margaret Mead dan Gregory Bateson
datanglah mereka ke Batavia di India Belanda waktu itu ya, tahun 1936. Dan waktu itu mereka
mencari asisten yang bisa menemani mereka untuk riset di Bali. Dan untungnya, jadi waktu itu
beririsan dengan waktu dimana Imade Kaler juga datang ke Batavia untuk mencari kerja. Sebelumnya
dia setelah lahir dan sekolah di Bali, dia pindah ke Malang pada awal tahun 30 -an. Pindah ke
Malang untuk menempuh pendidikan di sekolah menengah Belanda. Waktu itu sebetulnya dia nggak
pengen jadi asisten riset atau kerja di akademia atau apapun itu. Dia datang ke Malang untuk,
dia pengen menjadi, apa istilahnya itu, klerk itu apa ya bahasa Indonesia? Semacam petugas.

00:16:50 Tito Ambyo
Ya kayak apa ya? Kayak PNS.

00:16:55 Amrina Rosyada
PNS.

00:16:55 Tito Ambyo
PNS tapi di zaman kolonial.

00:16:59 Amrina Rosyada
Jadi dia pengen jadi PNS, tapi konteksnya di zaman Belanda. Makanya dia ke Malang untuk belajar
di bawah sekolah sistem pendidikan Belanda. Terus dia pindah ke Batavia pada pertengahan
tahun 30 -an untuk mencari kerja, tapi nasib dia kurang beruntung. Nasib dia Malang, dia nggak
bisa dapat kerjaan jadi PNS. Akhirnya dia ketemu Margaret Mead dan Gregory Bateson, yang waktu
itu masih suaminya. Aku sendiri nggak tahu persisnya ketemunya, di mana, kapan, atau melalui
siapa. Tapi akhirnya mereka ketemu, dan ya itu Ima de Kaller memenuhi syarat semuanya. Dia
orang Bali pertama, dia bisa bahasa Inggris, bisa bahasa Bali, bisa bahasa Melayu, bisa bahasa
Belanda. Jadi multilingual, dan dia terpelajar. Jadi dia bisa nyambung ngobrol sama Margaret
Mead dan Gregory Bateson. Dia sedikit banyak tahu tentang konteks budaya, dan dia dari mana,
dan lain -lain. Walaupun sebelumnya dia belum pernah bertemu penutur bahasa Inggris sama
sekali. Jadi itu pertama kalinya dia ketemu. Akhirnya ya sudah klop gitu,

00:18:29 Amrina Rosyada
dan deal akhirnya jadi asisten riset. Tapi lucunya sebetulnya ini dari ceritanya Margaret
Mead, dari sisi Margaret Mead. Jadi ada footnotes di satu karya dia, dia ngomongin tentang
Made ketika dia pertama kali pengen merekrut Made sebagai asisten riset, itu Margaret Mead
bilang kalau Made ini sebenarnya dia nggak terlalu tertarik sama pekerjaan ini, karena dia
harus balik ke Bali, dan hidup di kalangan orang -orang, di antara orang -orang pegunungan
yang menurut dia terbelakang atau nggak se -kosmopolitan dia. Tapi akhirnya dia setuju untuk
kerja dengan Mead dan Gregory Bateson. Karena menurutku mungkin mereka memiliki tawaran
yang menarik. Dalam artian Made bisa belajar bahasa Inggris dari mereka, bisa dapat akses
terhadap buku -buku bahasa Inggris, atau koneksi, dan lain -lain seperti itu.

00:19:36 Tito Ambyo
Kenapa penting sekarang kita bicara tentang Ima de Kaller?

00:19:44 Amrina Rosyada
Penting kita membicarakan tentang Ima de Kaller, walaupun dia adalah orang yang hidup berpuluh
-puluh tahun yang lalu. Menurutku penting untuk membawa beliau kembali ke diskusi tentang
sejarah antropologi atau teori antropologi, karena persis orang -orang seperti Ima de Kaller
inilah yang membuat pendelitian -pendelitian di Indonesia, terutama oleh pendelitian asing,
itu mungkin dilakukan di Indonesia. Orang -orang seperti dia inilah yang memfasilitasi riset
-riset di Indonesia, terutama untuk pendelitian asing yang mungkin belum pernah ke Indonesia
sebelumnya, atau nggak bisa ngomong bahasa Indonesia sama sekali sebelumnya. Karena yang
namanya sejarah antropologi itu menurutku nggak hanya tentang masalah teori atau produksi
ilmu pengetahuan. Yang namanya etnografi kan juga masalah berkutat dengan masalah domestik,
masalah logistik, masalah teknikal sehari -hari yang kita temukan di lapangan. Nyuci baju,
transportasi, makan, gitu -gitu kan gimana kalau belum pernah ke Indonesia dan punya

00:20:52 Amrina Rosyada
pengetahuan yang sangat minim tentang lapangan. Jadi orang -orang seperti Made inilah yang
sebetulnya memiliki banyak kontribusi dalam etnografi, baik dalam secara intelektual maupun
domestik, tapi sayangnya masih dilihat sebagai figur marginal di antropologi, sejarah antropologi.
Bahkan sampai sekarang masih banyak peneliti yang memakai jasa kolaborator, jadi ku pikir
ini bisa menjadi titik penting atau titik untuk kita berefleksi gimana sih caranya kita bisa
melakukan kolaborasi yang baik.

00:21:32 Tito Ambyo
Tadi kan Amrino ngomong Imade Kaller juga ada kontribusi intelektual. Seperti apa emang kontribusi
Imade Kaller ke karir atau ke teori -teorinya Margaret Mead yang kemudian jadi terkenal itu?

00:21:47 Amrina Rosyada
Jadi Imade Kaller ini ketika dia berkolaborasi sama Margaret Mead, itu tugas dia secara dalam
konteks riset ya, tugas dia adalah mengumpulkan data. Mengumpulkan data dari wawancara atau
dari, mostly dari wawancara sih, jadi dari wawancara banyak orang, mostly dari itu atau dari
mengikuti observasi acara -acara ritual -ritual gitu. Dan dia menulis mungkin lebih dari
500 teks tentang ritual di Bali atau tentang wawancara dia dengan orang -orang sekitar. Jadi
dia menulis banyak banget field notes untuk Margaret Mead, banyak banget informasi yang dikumpulkan
buat Margaret Mead.

00:22:47 Amrina Rosyada
Dan walaupun dia itu tugasnya adalah mengumpulkan data, tapi sebetulnya dia bukan sekedar
pengumpul data yang pasif, alias kalau misal Margaret Mead ngomong apa, dia oke -oke gitu.
Kadang -kadang ketika aku baca field notesnya, ada beberapa kalimat di mana dia menunjukkan
kalau dia sebenarnya nggak terlalu setuju dengan omongan Margaret Mead gitu misalnya. Terus
habis itu dia pernah juga mengundang Margaret Mead secara aktif untuk pergi ke Buleleng di
mana dia lahir, jadi di Bali Utara. Waktu itu Margaret Mead bilang kalau dia belum pernah ke
Buleleng, habis itu si Madenya bilang, hah, kamu belum pernah ke Buleleng? Akhirnya diundang,
ayo datang ke rumahku. Sepupuku, anaknya sepupuku mau ulang tahun tiga bulan. Akhirnya mereka
pergilah ke Buleleng untuk menyaksikan pesta ulang tahun atau ritual otonan si saudaranya
Made ini. Terus akhirnya ritual itu atau observasi dari ritual itu masuk ke dalam bukunya si
Margaret Mead. Jadi itu sebagai bukti bahwa Made itu juga memiliki kontribusi terhadap

00:24:12 Amrina Rosyada
arah penelitiannya Margaret Mead dan Godi -Godi Bateson waktu itu dengan cara dia aktifly
mengundang atau aktifly menyarankan sesuatu kayak gitu.

00:24:30 Tito Ambyo
Terima kasih telah mendengarkan bagian pertama dari percakapan kami dengan Amrina Roshada
tentang Ima de Kaler. Dari pembicaraan hari ini ada beberapa poin penting yang patut kita renungkan.
Pertama, sejarah antropologi yang selama ini kita pelajari, syarat dengan bias. Dominasi
tokoh -tokoh kulit putih dalam cerita antropologi bukanlah kebetulan, melainkan cerminan
dari struktur kekuasaan dalam dunia akademis yang tentunya harus terus kita pertanyakan.
Kedua, Ima de Kaler bukan sekadar asisten atau pembantu. Dia adalah intelektual yang berkontribusi
aktif dalam membentuk arah dan kualitas penelitian Margaret Mead. Dia misalnya menulis lebih
dari 500 teks, memberikan masukan kritis dan bahkan mengarahkan Mead untuk mengunjungi beberapa
tempat -tempat penting di Bali. Ketiga, etnografi yang baik selalu bersifat kolaboratif.
Tidak ada antropolog yang bisa bekerja sendirian, terutama ketika meneliti budaya yang tidak
mereka kenal. Namun, kontribusi kolaborator lokal sering tidak mendapat pengakuan

00:25:42 Tito Ambyo
yang layak. Keempat, riset arsip seperti yang dilakukan oleh Amrina menunjukkan pentingnya
mencari suara -suara yang hilang dalam sejarah penelitian. Dengan menggali arsip, kita bisa
menemukan nama -nama dan cerita -cerita yang selama ini terlupakan. Dan yang terakhir, mengakui
kontribusi dari orang -orang seperti I. Madekaler bukan hanya soal keadilan sejarah, tapi
juga langkah penting dalam melakukan dekolonisasi dunia pengetahuan dan menciptakan etnografi
yang lebih terbuka dan inklusif. Minggu depan, di bagian kedua percakapan kita dengan Amrina,
kita akan mendengar lebih lanjut tentang bagaimana I. Madekaler bahkan menyembunyikan informasi
tertentu dari Margaret Mead dan apa yang bisa kita pelajari dari pengalaman ini untuk praktik
etnografi masa kini. Jangan lupa untuk berlangganan dan bagikan episode ini kepada teman
-teman yang tertarik dengan sejarah antropologi dan juga etnografi. Seperti biasa, kalau
kamu mau tahu lebih banyak tentang jaringan etnografi terbuka, kunjungi website

00:26:50 Tito Ambyo
kami di etnografiterbuka .org Terima kasih sekali lagi untuk keluarga jaringan etnografi
terbuka, terutama Anissa Betta, Ben Haggerty, Fikri Haidar, Eni Puji Utami, Amrina Roshada
sebagai narasumber, untuk Rosie Clines untuk komposisi musik yang bisa anda dengar saat ini,
Rugun Sirait untuk editing, dan juga terima kasih untuk anda sebagai pendengar. Sampai jumpa
di episode selanjutnya dan ingatlah di balik setiap individu yang berkarya, selalu ada komunitas
yang mendukung dan berkontribusi. Saya Tito Ambio untuk Podcast Jaringan Etnografi Terbuka.
Sampai jumpa.

Ada siapa di balik etnografi sukses? Cerita tentang I Made Kaler - Wawancara dengan Amrina Rosyada, Bagian 1
Broadcast by